kontribusi kecerdasan emosi dengan coping stres pada remaja



A. Latar Belakang
Periode remaja adalah masa transisi dalam periode anak-anak menuju periode dewasa. Periode ini dianggap sebagai masa-masa yang amat penting dalam kehidupan seseorang khususnya dalam pembentukan kepribadian individu. Masa remaja juga dikenal dengan masa storm and stress dimana terjadi pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan secara psikis yang bervariasi
Menurut studi yang dilakukan Aneshensel & Gore (dalam Goldberger, 1982) stres dan coping yang terjadi pada masa remaja merupakan hal yang serius dimana telah ditemukan fakta bahwa bunuh diri dan kekerasan memiliki tingkat yang tinggi, dan umur 11th – 14th merupakan masa-masa stres yang paling hebat yang dialami oleh remaja.
Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Santrock, 2003) kondisi stres dapat terjadi bila terdapat kesenjangan atau ketidakseimbangan antara kemampuan dan tuntutan. Tuntutan merupakan tekanan-tekanan yang tidak dapat diabaikan karena jika tidak dipenuhi, akan menyebabkan konsekuensi yang tidak menyenangkan bagi individu. Tuntutan dapat diartikan sebagai element fisik atau psikososial dari suatu situasi yang harus ditanggapi melalui tindakan fisik atau mental oleh individu, sebagai upaya dalam menyesuaikan diri.
Lain lagi dengan Baum (dalam Abbas, 2007). Ia mendefinisikan stres sebagai pengalaman psikis (emosi) yang tidak menyenangkan yang diikuti perubahan fisik, kognisi dan tingkah laku, yang ditujukan untuk mengubah stres atau mengakomodasi akibatnya.
Hawari (dalam Abbas, 2007) mengartikan stres sebagi reaksi fisik dan psikis, berupa perasaan tidak nyaman, tidak menyenangkan, atau tertekan terhadap tuntutan dan tekanan yang dihadapi. Reaksi fisik tidak menyenangkan juga bisa ditimbulkan oleh persepsi yang tidak tepat terhadap sesuatu yang dimaknakan sebagai ancaman terhadap keselamatan dirinya dan menghambat keinginan atau kebutuhannya.
Banyak stressor yang dialami remaja datang secara terus menerus, setiap harinya. Tekanan akademis dan kompetisi, tujuan karir dan pendidikan yang lebih tinggi. Kecemasan dikala kencan, tekanan dari teman sebaya, harapan dari orang tua, dan konflik antara orang tua dan anak sering kali memerlukan dilakukannya penanganan stres dan adaptasi oleh remaja. Semakin banyak stressor yang datang, semakin meningkat pula tingkat stres pada remaja. Stres akan berkembang menjadi lebih buruk lagi bahkan depresi apabila tidak melakukan penangan yang tepat. Usaha yang dilakukan individu untuk mengontrol tekanan dikatakan sebagai coping (Omizo dalam Santrok, 2003).
Sarafino (1998) mengemukakan bahwa coping nerupakan suatu proses dimana seseorang berusaha mengatasi ketidaksesuaian yang dirasakan antara tuntutan dan sumber daya yang dimilikinya. Lazarus (dalam Santrock, 2003) juga mengatakan bahwa coping merupakan suatu bentuk pemecahan masalah yang dilakukan untuk mencapai kesejahteraan dirinya.
Lazarus (dalam Santrock, 2003) percaya bahwa penangan stres atau coping terdiri dari dua bentuk, yaitu coping yang berfokus pada masalah (problem-focused coping) dan coping yang berfokus pada emosi (emotion-focused coping). Coping yang berfokus pada emosi adalah strategi penangan stress di mana individu memberikan respon terhadap situasi stres dengan cara emosional.
Semua emosi pada dasarnya, adalah dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah. Goleman (1997) mengungkapkan bahwa kita harus menggunakan emosi secara cerdas. Istilah kecerdasan emosi pertama kali diperkenalkan oleh Peter Salovey dan Jack Mayer pada tahun 1990. Mayer dan Salovey (dalam Goleman, 1997) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya, serta mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual.
Lebih lanjut Goleman (1997) mengatakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam meghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.
Tidak jauh berbeda dengan Goleman, John Mayer (dalam Shapiro, 1997) mengungkapkan kualitas-kualitas kecerdasan emosi antara lain: empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, kemampuan memecahakan masalah pribadi, dan lain-lain.
Sementara Cooper dan Sawaf (1998) mengatakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari.
Mengingat bahwa masa remaja merupakan masa yang paling banyak dipengaruhi oleh lingkungan dan teman-teman sebaya dan dalam rangka menghindari hal-hal negatif yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain, remaja hendaknya memahami dan memiliki apa yang disebut kecerdasan emosi.
Kecerdasan emosi ini terlihat dalam hal-hal seperti bagaimana remaja mampu untuk memberi kesan yang baik tentang dirinya, mampu mengungkapkan dengan baik emosinya sendiri, berusaha menyetarakan diri dengan lingkungan, dapat mengendalikan perasaan dan mampu mengungkapkan reaksi emosi sesuai dengan waktu dan kondisi yang ada sehingga interaksi dengan orang lain dapat terjalin dengan lancar dan efektif.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahyu dan Taganing (2007), menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dengan arah positif antara kecerdasan emosi dengan kecenderungan problem focused coping. Semakin tinggi kecerdasan emosi, semakin tinggi kecenderungan problem focused coping pada sales.
Hasil penelitian ini juga menunjukan bahwa kecerdasan emosi memberikan sumbangan relatif atau kontribusi sebesar 25% terhadap kecenderungan problem focused coping.
Sedangkan menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Hasan (2002), ada pengaruh antara kematangan emosional terhadap pemilihan strategi coping pada remaja. Semakin matang emosi individu cenderung memilih strategi coping yang berorientasi pada pemecahan masalah (direct action) dan sebaliknya individu yang emosinya kurang matang cenderung memilih strategi coping yang berorientasi meredakan ketegangan (palliation).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi memainkan peranan penting dalam berbagai pengendalian emosi, baik emosi dalam pengungkapan persaan maupun coping, namun sejauh mana kontribusi kecerdasan emosi dengan coping stres pada remaja saat ini.

Dapus:

Ibung, D. (2008). Stres pada anak. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Goleman, D. (1997). Emotional intelligence : Mengapa EI Lebih Penting daripada IQ. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum.

Goldberger, L. & Breznitz, S. (1982). Handbook of Stress : Theorotical and Clinical Aspects. New York: The Free Press.

Santrock, J. W. (2003). Adolescence : Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga.

Shapiro, L. (1998). Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum.

Catur, R. A. & Taganing. (2007). Jurnal Psikologi Vol.24: Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Kecenderungan Problem Focused Coping pada Sales.
http://library.gunadarma.ac.id/index.php?appid=penulisan&sub=detail&npm=10502194&jenis=s1fpsi/(Diakses 17-06-2009)

2 komentar:



Anonim mengatakan...

One of my friends already told me about this place and I do not regret that I found this article.

Siti Nurul Akbari mengatakan...

thanks ^^